Baru pertamakali ini saya membuat tulisan dengan judul njelimet seperti di atas. Mencari korelasi dalam sebuah sinema dan disiplin isu informasi kontemporer adalah pekerjaan yang tricky, mengingat saya tidak mempunyai backround knowledge yang cukup di dunia perpustakaan. Namun, tema ini menarik untuk dibahas karena tidak banyak litelatur terkait yang dibuat. Sungguh sayang film Party Girl sendiri tidak cukup populer untuk dapat merubah paradigma perpustakaan yang selama ini dikenal masyarakat. Padahal Party Girl mengusung tema perpustakaan yang positif dan profesional sebagai sajian utama, sebuah dekonstruksi dari stereotype pustakawan dan perpustakaan yang dipopulerkan oleh industri perfilman.
"They used to make movies about young women who were earnest librarians, and wore horn-rim glasses, and put their hair up in buns, and never had any fun. "
- Roger Ebert
Tidak ada yang aneh maupun berlebihan dalam penggambaran citra pustakawan dalam film Party Girl. |
"Party Girl" (1995) adalah sebuah film independen besutan Daisy von Scherler yang pertama kali diputar di festival film Sundance pada tahun 1995. Terlepas dari segi sinematografi dan alur cerita, film ini menyajikan sebuah tema unik yang jarang dilirik oleh sineas perfilman; kritik terhadap konsep pustakawan sebagai pilihan karir. Umumnya, pustakawan atau perpustakaan memiliki stereotype yang jauh dari realita, terutama dalam kancah perfilman Indonesia. Dalam industri perfilman barat, penggambaran ini bersifat lebih heterogen. "Party Girl" adalah satu dari sedikit film yang secara realistis menekankan fungsi utama dan citra positif pustakawan maupun perpustakaan.
Berikut ini adalah dialog antara Judy (Sahsa von Scherler), seorang pustakawan publik di perpustakaan kota New York, dan Mary (Parker Posey) yang menyiratkan perbedaan antara profesi pustakawan dan pegawai perpustakaan;
Judy: I lost two dedicated clerks last month because I couldn’t afford to pay them a competitive wage. They make more money at McDonald’s. You… no, a girl like you couldn’t —
Mary: What do you mean, a girl like me? … You think I couldn’t be a librarian?
Judy: Darling, a librarian is a professional with a master’s degree in library science. Even a clerk, who merely shelves and stamps —
Mary: You think I couldn’t be a library clerk? …
Judy: A library clerk is smart, responsible —
Mary: You don’t think I’m smart enough to work in your fucking library?
Judy: I think nothing of the sort. … Fine, you can start right now!
Mary: Fine! I will. Great.
Gambar di samping adalah citra pustakawan yang lahir dari hegemoni pop culture. Saya tidak tahu pasti bagaimana citra pustakawan dan perpustkaan di luar Indonesia, namun di dalam tanah air gambaran pustakawan berkacamata, kaku dan galak masih banyak ditemui di sinema-sinema. Perpustakaan kerap kali digambarkan sebagai tempat yang membosankan atau sebagai sarang hantu.
Faktanya, apakah anda sering menemukan pustakawan yang persis seperti gambaran di samping?
Dalam "Party Girl", Judy dan Mary memiliki dedikasi yang tinggi terhadap profesi pustakawan. Berlatar belakang tahun 90an saat perpustkaan belum terjamah teknologi internet. "Patrons" atau pemustaka harus bertanya langsung pada pustakawan atau "library clerk" (pegawai perpustakaan) saat mencari referensi atau litelatur. Dewey Decimal System, sebuah sistem klasifikasi buku di perpustakaan, menjadi syarat wajib yang harus dikuasi agar dapat melayani kebutuhan pemustaka secara maksimal. Mary mendapatkan 'pencerahan' saat dia menguasi 'Dewey Decimal System' dalam satu malam. Setelah menguasai sistem tersebut, Mary tidak perlu mengulang kesalahan meletakkan buku "An Autobiographical Study" karangan Sigmund Freud ke rak bagian biografi atau memberi petunjuk mengenai "peaches and oranges" pada seorang wanita tua yang sebenarnya mencari "Species and Origins".
Peran pustakawan tidak terbatas pada meja sirkulasi. Pustakawan mestinya berwawasan luas, menguasai konsep pengetahuan dan kebutuhan informasi pemustaka. Pesan ini secara implisit terdapat dalam "Party Girl". Sehingga pada dasarnya, peran pustakawan tidak mengalami perubahan yang berarti meski terjadi perubahan era akibat perkembangan teknlogi informasi.
"the library must continue to perform one of the most important functions it now performs in the print-on-paper world: to organize the universe of resources in such a way that those most likely to be of value to the user community are made most accessible to this community, physically and intellectually." (Lancaster, 1997)
"values that are the foundation of the library profession should remain the same into the next century values of service, quality, universal access, and co-operation". (Creth, 1996)Akan tetapi, saya mengalami pengalaman yang berbeda dalam pengalaman berinteraksi dengan pustakawan. Di perpustakaan sekolah, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya masih harus berinteraksi dengan pustakawan jika menginginkan sesuatu untuk dibaca namun saya tidak tahu apa yang harus saya baca. Di era informasi teknologi ini, saat digitalisasi pelayanan pustaka adalah hal wajib, aktivitas "information sharing" saya dengan pustakawan terpaku pada proses peminjaman dan pengembalian pustaka. Akibatnya, citra pustakawan yang terbentuk pada masyarakat awam yaitu pustakwan adalah petugas perpustakaan yang bertugas untuk menstempel kartu peminjaman. Hal ini menurut saya menjadi tantangan tersendiri bagi dunia perpustakaan untuk mengkonstruksi citra profesi maupun akademisi perpustakaan yang profesional dan setara dengan profesi profesional lain.
Ebert, Roger. Party Girl. 7
July 1995. 17 September 2017
<http://www.rogerebert.com/reviews/party-girl-1995>.
Verma, Manoj Kumar. “Changing Role of Library Professional in Digital
Environment: A Study.” International Journal of Library Science 13
(2015).
Potongan adengan dari film "Party Girl" yang mengkritisi konsep pustakawan :
image of a librarian has not changed yet. Perlu ada kerja besar para librarians untuk menunjukkan perubahan yang terjadi pada image mereka.
ReplyDelete