"Mereka akan berselfie dimana saja, kapan saja selama berada di situasi yang mereka anggap menarik, bertemu dengan idola atau tokoh yang menarik lainnya, menarik bagi mereka sendiri maupun menarik untuk dibagikan kepada teman-teman di media sosial." Bayang (2017)
Benak saya tergelitik ketika membaca tulisan di blog milik Wimo Ambala Bayang yang berjudul "Berfoto Bersama Sobat", terutama ketika sampai di paragraf di atas. Hal menarik lainnya dari tulisan Wimo adalah sebuah fenomena yang terekam lensa kameranya berikut ini.
© Wimo Ambala Bayang |
© Wimo Ambala Bayang |
© Wimo Ambala Bayang |
© Wimo Ambala Bayang |
Jika anda bukan berasal dari dataran
eropa apalagi tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sejarah dunia,
fenomena di atas mungkin tidak berarti apa-apa. Seperti tindakan yang dilakukan
pengunjung tersebut, berpose dengan gaya lengan kanan lurus dan menunjuk ke
depan dengan sudut agak ke atas, namun telapak tangan mengarah ke bawah; pose
itu dikenal dengan nama Salut Nazi atau Salam Hitler. Salam Hitler adalah sikap
hormat yang biasanya disertai dengan teriakan, Heil Hitler atau Sieg
Heil. Tanda salut Nazi banyak dipraktikkan
semasa berkuasanya rezim Nazi di Jerman yang berlangsung antara tahun
1933-1945. Pada masa itu, tanda salut Nazi digunakan sebagai sapaan dan
untuk menunjukkan loyalitas pada rezim Nazi. Sejak PD II berakhir, atribut-atribut
yang terkait dengan Nazi seperti tanda salut Nazi, juga pemakaian seragam dan
bendera Nazi, kecuali untuk keperluan seni, ilmu pengetahuan, penelitian atau
kegiatan belajar-mengajar adalah hal yang ilegal di Jerman; termasuk di negara-negara
Eropa dan Amerika. Kekejaman di era Nazi sangat tidak berperikemanusiaan
dan menyisakan luka kenangan yang mendalam bagi korban dan manusia yang
memiliki kesadaran.
Ketidaktahuan (ignorance) mereka yang berfoto dengan
Salut Nazi, termasuk juga pihak museum yang dengan ceroboh tidak memberi
keterangan apa pun pada karya, salah satunya disebabkan oleh fenomena banjir
informasi. Bila kita tidak memilah-milah, otak
kita akan mengalami cognitive overload. Otak kita dipenuhi berbagai
data dan informasi, baik yang berkualitas maupun sampah. Berguna maupun tak
berguna. Sehingga kita menjadi kewalahan dan kebingungan. Kita tidak bisa
membedakan mana informasi yang esensial dan mana yang tidak. (Darmawan, 2017).
Kemudian, benar lah
apa yang disampaikan Kamisopa (2016),
Informasi merupakan
salah satu kebutuhan vital yang sering sekali tidak kita sadari. Selama ini
kita menyadari bahwa hanya sandang, pangan, papan lah yang menjadi kebutuhan
vital dalam kehidupan. Padahal, tidak terpenuhinya kebutuhan informasi seorang
manusia dapat memicu rasa cemas dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari,
bahkan dapat berdampak negatif pada kondisi fisik dan psikis. Akibatnya
distribusi informasi atau penciptaan informasi menjadi kebutuhan yang
fundamental bagi segala aspek. Hal ini kemudian menjadikan orang atau individu
menjadi terbuka akan informasi, artinya yang masuk atau diterima oleh individu
tersebut dapat dibagikan kembali pada orang lain. Informasi pada orang atau
indivifu yang masuk tanpa disaring terlebih dahulu membuat mereka atau
masyarakat menjadi banjir akan informasi.
Anugrahbayu (2017)
berpendapat, “banjir informasi merenggut salah satu daya manusiawi paling
berharga: kebebasan. Itulah ironi abad
informasi. Alih-alih mencari tahu, semakin banyak orang justru sok tahu,
mati-matian membela pengetahuan yang bahkan terlalu jelas keliru. Pun ketika
berusaha mencari tahu, orang cenderung hanya mau tahu apa yang telah diyakini
terlebih dahulu — sesuatu yang dalam sosiologi pengetahuan disebut "bias
konfirmasi". Benarlah kata pepatah Prancis: trop d'information tue
l'information — terlalu banyak informasi membunuh informasi. Terlalu
banyak tahu nyaris sama dengan tak tahu apa-apa.”
Selanjutnya, pekerjaan rumah siapakah dampak dari banjir informasi? Pemerintah? Institusi pendidikan? Orang tua? Teman sepermainan? Pustakawan?
Sumber:
Aji, D. (2017). Banjir Informasi dan Dampak Negatifnya. Diambil 9 November 2017, dari http://www.darmawanaji.com/banjir-informasi-dan-dampak-negatifnya/
Anugrahbayu, Y. D. (2017). Banjir Informasi, Darurat Demokrasi. Diambil 9 November 2017, dari https://news.detik.com/kolom/d-3531470/banjir-informasi-darurat-demokrasi
Bayang, W. A. (2016). Parkiran Pikiran: Berfoto Bersama Sobat Super. Diambil 9 November 2017, dari http://parkiranpikiran.blogspot.co.id/2016/04/berfoto-bersama-sobat-super.html
Kamisopa, F. (2016). Banjir Informasi Dan Perubahan Sosial Masyarakat oleh Fransisco Edwardo Kamisopa - Kompasiana.com. Diambil 9 November 2017, dari https://www.kompasiana.com/tete_pucuk/banjir-informasi-dan-perubahan-sosial-masyarakat_571088543297736a06729ee8
No comments:
Post a Comment